23 June, 2006

Jazz untuk Jogja (Part 2: The Lessons)

Musical sense indulgement is over … now is the time to reflect the lessons:
  1. Pelajaran pertama paling berharga: Jangan malas!!! Dulu, bisa dibilang saya gak pernah bertahan lama untuk ikut suatu kegiatan kursus atau les. Dimulai (dari yang paling saya ingat) dari les menari Jawa, dengan alasan gak betah sama gaya narinya saya berhenti setelah 1 tahun (kelas 2 sd). Lalu les piano...lesnya privat, gurunya datang ke rumah. Gurunya cantik dan baiiiiik sekali. Biarpun saya gak ngerjain PR dari dia (males aja...jangan ditiru ya...), dia tetap tersenyum dan membimbing saya. Akhir dari setiap sesi les selalu saya tunggu-tunggu, yaitu saat si ibu...Shenny kalo gak salah namanya, memberikan cokelat, permen atau apapun sebagai reward buat saya. Reward ini biasanya saya taruh di belakang standard partitur...untuk diambil kemudian setelah dia pulang :D Entah apa yang salah dengan ibu guru cantik ini sampai akhirnya saya mental juga. 1 tahun setelah les dimulai, saya mundur teratur...Hmm...mungkin karena saya ngeliat gak ada tantangan kali ya, karena mau gimana pun pasti saya dapat reward ??? Gak ada sistem punishment buat saya ? Gak ada sparing partner... ? yah, akan banyak lah alasan kalo mau dicari. Yang pasti faktanya saya gak bertahan lama. Hasilnya: saya sempat dicap ‘jago’ piano sama keluarga saya…tapi karena tidak terlatih dengan baik, sekarang saya kalau main piano harus mengeja not balok dulu. Masih ada beberapa les-les lain yang sempat saya ikuti…tapi cuma akan bikin malu aja kalau semua dibahas di sini…hehehe…
  2. Menonton sekian bakat musik, saya semakin percaya bahwa orang Indonesia itu sebenernya PINTER, BERBAKAT! Tinggal gimana ngasahnya aja….hehehe…ngomong emang gampang ya
  3. Kolaborasi yang saya lihat sedikit ‘menampar’ saya. Bayangkan…jelas musisi-musisi itu JAGO main alat musik. They don’t even have any music book to look at during their performance. Udah bener-bener main dengan hati gitu… Selama mereka berkolaborasi, mereka gak sibuk melihat tangan atau permainan mereka (iya sih..kalo masih belajar kan pasti yang dilihat tangannyaaa terus…hahaha), tapi justru yang mereka lihat gitar atau permainan rekannya. Kemauan mendengar, menyesuaikan dan menayamakan pace menghasilkan harmonisasi dan sinergi yang cantik dalam penampilan mereka. Saya jadi ingat jaman saya aktif di paduan suara. Bagaimana cara mencapai harmonisasi adalah dengan at least mendengarkan suara teman yang berdiri di samping kiri kanan kita. Tujuannya supaya suara kita gak ‘menor’ sendiri. So, dalam hidup mestinya juga bisa begitu. Kita gak sibuk sama diri sendiri, gak mentang-mentang kita udah merasa ‘jago’ dengan apa yang kita lakukan, kita jadi pengen kejagoan itu keliatan sama orang…kita gak mau membiasakan diri untuk melihat orang lain, mendengar orang lain, dan saling menyamakan pace. Hmm…kalooo aja semua orang bisa saling melihat, mendengar dan menyesuaikan begitu…bayangkan betapa HARMONIS nya bangsa ini, dan bayangkan apa yang bisa kita bikin dari hasil SINERGI sekian ratus juta bangsa Indonesia!!!

    Berkhayal memang enak..merenung dan merefleksi memang perlu…tapi…back to reality bung!!! Hehehe….

    Jazz untuk Jogja memang hebat. Selain bisa menggalang dana buat membantu relief dan recovery di Jogja, acara ini sudah memberikan insight buat 1 orang bodoh yang namanya Atiek… :))

1 comment:

Yanesthi Hardini said...

Bookkkk....
mbok ya kalo mau nonton acara2 lucu gue itu diajakkkk
Masalah gue mau atau gak (ini didasari oleh beberapa hal, misalnya alasan fisik ataupun alasan fisik dompet gue) itu mah belakangan boooo....
Okeeee??? Ngerttiiii???