(catatan Kelas Inspirasi 2, 20 February 2013 – SDN Ancol 03 Pagi, Jakarta)
…..
Datangi mereka dengan hati dan sepenuh hati. Izinkan mereka terpana, ajak mereka bermimpi, lepaskan imajinasi itu melangit, biarkan mata mereka berbinar melihat Anda dan mendengar cerita Anda.
Ya, secara fisik Anda cuma beberapa jam di sekolah itu, tetapi inspirasi yang Anda tanamkan bisa hidup amat lama, bisa tumbuh amat kuat. Anda datang dengan hati, dan merekapun akan menerima Anda dengan hati. Kehadiran dengan hati itu sungguh dahsyat efeknya. Anda bisa menginspirasi mereka, yang efeknya amat panjang. Biarkan cerita Anda, wajah Anda, ketulusan Anda dan semangat Anda jadi bagian dari narasi mimpi mereka.
…..
Itu adalah penggalan dari surat yang dikirimkan Bpk Anies Baswedan kepada kami, para professional yang berpartisipasi di Kelas Inspirasi, 1 hari sebelum Hari Inspirasi tiba. Penggalan surat, yang sukses membuat saya mewek di depan komputer. Dan penggalan surat ini juga yang saya jadikan bekal.
Datangi dengan hati, dan sepenuh hati. This sentence got me.
Pengalaman Kelas Inspirasi terlalu berharga untuk didiamkan tanpa diceritakan (dan saya yakin ini juga dirasakan oleh partisipan lain). Terlalu banyak pelajaran dan inspirasi yang saya dapat bahkan sejak saya bertemu pertama kali dengan teman-teman sekelompok saya saat briefing tanggal 9 February, saat kami bersama-sama survey sekolah dan ngobrol dengan para guru tanggal 16 February, dan lebih-lebih saat kami terjun turun tangan mengajar, bercerita tentang profesi kami.
Saat briefing, saya pertama kali mengenal 12 teman baru yang memiliki profesi dan latar belakang beragam. Trainer, Geologist, Engineer, Travel Writer, Corporate Finance, Account Manager, Production Planner, Statistician, Entrepreneur, Dokter, dan lain-lain. Itu saja sudah member pencerahan buat saya, yang selama 12 tahun lebih sudah berenang sebagai praktisi sumber daya manusia.
Saya teringat betapa saya tidak bisa melepaskan pandangan dari video tentang Kelas Inspirasi, melihat betapa optimisnya anak-anak dengan lantang menceritakan cita-cita mereka. Masih ingat rasanya saya menahan haru dengan sengaja mencubit diri sendiri saat saya dan lebih dari 500 relawan dan panitia lain menyanyikan Indonesia Raya bersama. Saya malu kalau ketahuan cengengnya karena menangis saat menyanyikan lagu ini. Saat bertemu dengan ibu Titin, perwakilan kelapa sekolah SDN Ancol 03 pagi, saya sudah mulai malu karena mendengar cerita betapa para guru sudah mengabdikan dirinya untuk anak bangsa, sementara saya pagi harinya complain karena pelayanan konsumen yang buruk saat makan siang
Berdua belas, kami survey ke sekolah untuk mendapatkan gambaran tentang suasana sekolah dan lingkungan sekitar. Tidak lebih dari 2 jam kami di sana. Pada saat survey pun saya lebih banyak ngobrol dengan para guru. Mendengar cerita mereka yang dengan penuh sayang menggambarkan tingkah anak-anak sekolah dan kehidupan mereka. Terhenyak saya mendengar betapa anak-anak ini tumbuh di lingkungan yang secara kasat mata tidak kondusif untuk tumbuh dengan gembira. Menurut salah satu guru, anak-anak sudah terbiasa melihat berbagai tindak kriminal. You name it.
Anak-anak juga punya pemahaman bahwa kehidupan mereka akan sama terus, sesuai dengan lingkungan mereka. Menjadi Masinis Kereta Api adalah cita-cita paling ambisius mereka, mengingat mereka tinggal berdekatan dengan stasiun Kota.
Ironisnya, dengan lingkungan seperti itu, mereka sangat fasih dengan teknologi. Internet, gadget, adalah hal biasa yang menjadi fokus mereka sepulang sekolah, selain main bola, main karet, dan mengojek payung saat hujan tiba. Saya terbayang, bagaimana efek akses informasi yang luas melalui internet, di tengah lingkungan seperti itu. Saya tidak bisa terhindar dari membentuk suatu asumsi dan hipotesa bahwa saya akan bertemu dengan anak-anak yang sulit, nakal, dan lain-lain. Hal yang terbukti salah saat saya berinteraksi dengan mereka saat Hari Inspirasi.
Saya punya waktu 3 hari sejak survey untuk membuat rencana dan strategi pengajaran. Terbiasa dalam lingkungan kerja yang serba cepat tapi kurang berlatih mencicil pekerjaan, saya terbentuk menjadi orang yang pressure-prompted. Akan lancar membuat sesuatu saat sudah di saat terakhir. Alhasil, saya baru intensif membuat saat hari Selasa, tepat 1 hari sebelum Hari Inspirasi. Berbekal 2 hand puppet yang saya beli bertahun lalu di Taman Safari, saya membuat sebuah rencana pengajaran yang…sangat apa adanya. Gak ada keren-kerennya. Pada akhirnya saya berprinsip, “sudahlah, rock and roll saja di sana”
Itu sebelum saya membaca surat dari mas Anies. Begitu selesai membaca (12 jam sebelum Hari Inspirasi), rasa panik langsung memenuhi kepala saya. Beruntung saya punya teman-teman yang sangat suportif dan memberikan masukan tentang apa yang bisa saya lakukan.
Hari Inspirasi
Saya sudah bangun sejak jam 3.30 pagi. Bersiap-siap bukan hanya karena excited, tapi juga karena saya tidak bisa tidur nyenyak. Ketika saya pada akhirnya berangkat tepat pukul 5 pagi menuju lokasi, saya selalu mengingat kata-kata di surat dari mas Anies di atas, juga bahwa saya berpegang pada niat baik dan usaha kecil saya yang tidak seberapa itu. Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Saya mengajar di 5 kelas: kelas 5, kelas 1, kelas 4, kelas 3 dan kelas 6. Berikut pengalaman saya di tiap kelas.
Kelas 5
Kelas yang tidak terlalu besar, dimana beberapa orang di antaranya ternyata harus mengikuti lomba science di SD lain. Sebagai kelas pertama, saya pikir saya akan paling “on fire”. Ternyata, di kelas ini justru saya paling payah. Dari 30 menit waktu yang dialokasikan, saya selesai bercerita di…menit ke 7! Itu sudah termasuk nyanyi-nyanyi, tepuk-tepuk tanga, ice breaking, dan sebagainya. Makin ciut karena saat ditawarkan untuk bertanya tidak ada satupun anak yang mengangkat tangannya. Yak..”awkward moment ini dipersembahkan oleh…” langsung terjadi. Saya tidak punya bahan lain untuk diceritakan. Saya tidak punya lelucon untuk disampaikan. Saya tidak punya permainan untuk dilakukan. Mau main hand puppet? Ini anak kelas 5! Mana mereka peduli dengan hand puppet bulu2?? Akhirnya, gak ada pilihan lain:
Saya: Yuk, sekarang ambil kertas dan alat tulis
Anak: Mau ngapain bu kita?
Saya: Sekarang kalian gambar. Gambarkan cita-cita kalian nanti (ya. Saya tahu. Ini standar banget. Ya gimana donk, udah habis ide)
Mereka menggambar. Selama 10 menit saya beredar di kelas melayani teriakan anak-anak “ibu saya mau jadi dokter, gambarnya mesti gimana?” atau “ibu, kalau saya mau jadi pemain bola, berarti gambar gawang ya?” yang lebih edan lagi ada yang begini “ibu, saya mau jadi tentara, tapi cuma bisa gambar helmnya aja. Ibu gambarin orangnya ya” (lah, saya saja gak bisa gambar. Bisa makin tidak terinspirasi kalau saya ikut menggambar :) )
30 menit selesai tanpa huru hara lebih lanjut setelah saya berhasil melewatinya dengan meminta mereka menceritakan gambarnya.
Kelas 1
Hohoho…jangan pikir bahwa kelas 1 ini paling gampang karena paling kecil. Di sini saya melihat bisa saja ada anak tahu-tahu menangis karena tidak diajak ikut bekerja di kelompok. Atau karena…topinya diambil. Tahu-tahu ada 2 anak yang dorong-dorongan. Phew…kerja keras ini.
Strategi saya ubah. Lupakan teaching plan. Lupakan teori. Yang penting bagaimana bisa buat mereka duduk tenang dan memperhatikan saya. Hand puppets become the hero!
Koko (boneka koala) dan Caca (boneka Macan Putih, yang mana begitu saya menyebut nama Caca, anak-anak langsung gempar menyanyikan lagu Caca Marica hei Hei itu! hahahaha) menjadi perantara saya mengambil hati mereka. Saya loncat, saya bersuara seperti pendongeng (yang kalau dipikir, kok bisa ya suara saya seperti itu) untuk memberikan pesan-pesan semangat buat mereka.
To cut the long story short: I had a blast with this class!! Yeay!
Kelas 4
Kelas yang paling manis yang saya masuki. Mereka responsive, semangat, dan…they were just lovely! Saya ingat salah satu anak bercerita dengan lantang bahwa dia ingin menjadi seorang Designer. Dia sudah tahu bahwa dia akan beli bahan di tanah abang, lalu beli pita, mesin jahit, lalu bikin banyak pameran dan show karena mau terkenal. Saya tidak tahan untuk peluk dia dan bilang: Kamu bisa wujudkan itu!!
Kelas 3
Kelas ini…well, tidak ada hal lain yang bisa saya gambarkan selain…saya terintimdasi! Hahahaha. Kelas ini sangat aktif tapi di sisi lain seperti mau menilai kita. Dengan cueknya mereka membaca majalah saat saya bicara di depan, sehingga pelan2 saya minta untuk majalah disimpan dulu. Cuma nyengir, dia menutup majalahnya (phew!)
Walaupun merasa terintimasi, justru di kelas ini saya paling ingat saat ada salah 1 anak yang lagi2 dengan mantap bilang bahwa kalau sudah besar dia mau jadi direktur. Saat saya Tanya kenapa dia mau jadi direktur, dia bilang: supaya bisa pergi naik haji sama ayah – ibu. Duh…kalau tidak ingat bahwa saya harus stabil secara emosi, bisa-bisa saya mewek juga di situ :”))
Ada lagi anak yang duduk paling belakang, dia dari awal sudah menunjukkan sikap “gue gak takut sama lo walaupun lo guru”. Saya ajak dia maju, dan saya tanya apa cita-citanya. Dia bilang mau jadi pemain bulu tangkis dan koki (sebelumnya saya juga dengar dia bilang ke temannya, bahwa dia mau jadi koki). Alasannya? “Mau seperti ayah-ibu! Ayah pemain bulu tangkis, ibu saya koki. Masakannya enak”. Duh naaaak….halus hatinya kamu :")
Kelas 6
Sebagai kelas nyaris ABG, hand puppet sudah jelas masuk kotak. Akhirnya strategi saya ubah. Saya lakukan bermain peran dan meminta mereka menuliskan cita-cita mereka di kartu yang sudah kami sediakan.
Di sesi terakhir, anak-anak mengangkat tinggi-tinggi kartu cita-cita mereka, yang kami harapkan bisa sebagai bekal awal mereka.
Hari ini, sehari setelah Hari inspirasi, saya berpikir bahwa sayalah yang terinspirasi. Terinspirasi dari semangat anak-anak dan keberanian para guru berbuat langsung bagi para muridnya. Buat saya, para guru inilah para Superhero yang sebenarnya. Saya? Gak ada apa-apanya dibanding mereka. Saya terinspirasi dari teman-teman sekelompok saya, dari mas Anies, dan Arum, sang Fasilitator handal untuk kelompok saya. Kepala saya mengepul karena overloaded. Dada saya sesak karena terlalu sering terperangah menyaksikan mereka.
Saya terinspirasi dari segala arah.
Dari 360 derajat.
Ps. Berikut adalah sebagian dari banyak komentar lucu yang sempat terekam, baik oleh saya maupun oleh teman-teman sekelompok saya. Pasti akan jadi mood booster saya sekarang sampai nanti
- (berpakaian overall merah, seragam engineer sebuah perusahaan minyak): Ayo, tebak profesi Bapak / Pemadam kebakaran pak! / Tukang bengkel pak! / Tukang sapu!
- (serombongan anak2 memenuhi depan pintu ruang guru): Pak Andikaaa…sini donk, minta tanda tangan (Andika sang Engineer menjadi idola sehari)
- (Masih Engineer yang sama): Bapak sekolahnya di ITB / Aduh, dimana itu? Gak tau ITB, taunya ITC --> ini salah satu favorit saya
- Pak, kalo lagi tugas di laut, suka kangen mama ngak? (tanya anak kepada Engineer yang sama):
- (Dokter): saya dulu lahir di Papua / Wah, dulu Ibu item donk, kok sekarang bisa putih
- (tulisan di kartu cita-cita): Saya mau jadi Angkot Manager / Beneran angkot Manager?? / Iya buu…kayak bu Vanya../ Ooooh…bu Vanya itu Account Manager
- (di kelas saya): Kalau Kipper harus jago apa? / Jago jaga gawang bu! / Bener / Tapi gawang sendiri ya bu, jangan gawang orang lain (lalu nyengir)